Cari Blog Ini

Kamis, 22 April 2010

STROKE NON HEMORAGIK

I. Pendahuluan

Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologik fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.

Bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung sementara, beberapa detik hingga beberapa jam (kebanyakan 10-20 menit), tapi kurang dari 24 jam, disebut sebagai serangan iskemik otak sepintas (Transient Ischemic Attack = TIA).

Stroke merupakan mekanisme gangguan vaskular susunan saraf penyakit-penyakit dengan lesi vaskuler dikenal sebagai penyakit serebrovaskular atau disingkat dengan CVID (“Cerebro Vascular Disease”), dan penyakit akibat lesi vaskular di medulla spinalis bisa disebut juga penyakit spinovaskular.

“Stroke” atau manifestasi CVD mempunyai etiologi dan patogenesis yang multi kompleks.Rumitnya mekanisme CVD disebabkan oleh adanya integritas tubuh yang sempurna.Otak tidak berdiri sendiri diluar jangkauan unsur-unsur kimia dan selular darah yang memperdarahi seluruh tubuh. Jika integritas itu diputuskan sehingga sebagian dari otak berdiri sendiri di luar lingkup kerja organ-organ tubuh sebagai suatu keseluruhan, maka dalam keadaan terisolisasi itulah timbul kekacauan dalam ekspresi (gerakan) dan persepsi (sensorik dan fungsi luhur),suatu keadaan yang kita jumpai pada penderita yang mengidap “Stroke”.

Etiologi

1. Infark otak (80 %)

  • Emboli

a. Emboli kardiogenik

  • Fibrilasi atrium atau aritmia lain
  • Trombus mural ventrikel kiri
  • Penyakit katup mitral atau aorta
  • Endokarditis (infeksi atau non infeksi)

b. Emboli paradoksal

c. Emboli arkus aorta

  • Aterotrombotik (penyakit pembuluh darah sedang besar)

a. Penyakit eksterakranial

  • Arteri karotis interna
  • Arteri vertebralis

b. Penyakit intrakranial

  • Arteri karotis interna
  • Arteri serebri media
  • Arteri Basilaris
  • Lakuner (oklusi arteri perforans kecil)

2. Pendarahan intraserebral (15 %)

  • Hipertensi
  • Malformasi arteri-vena
  • Angiopati amiloid
  1. Perdarahan Subarakhnoid (5 %)
  2. Penyebab lain (yang dapat menimbulkan infark atau perdarahan )
    1. Trombosis sinus dura
    2. Diseksi arteri karotis atau arteri vertebralis
    3. Vaskulitis sistem saraf pusat
    4. Oklusi arteri besar intra kranial yang progresif
    5. Migren
    6. Kondisi hiperkoagulasi
    7. Penyalahgunaan obat (kokain atau amfetamin)
    8. Kelainan Hematologis (anemia sel sabit, polisitemia, atau leukemia)
    9. Miksoma atrium

Faktor Resiko

  • Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga dengan stroke atau penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium,heterozigot atau homozigot untuk homosistinure.
  • Yang dapat dirubah : hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat, kontrasepsi oral, hematokrit meningkat, bruit karotis asimptomatis, hiperurisemia dan dislipidemi.

Klasifikasi Stroke menurut WHO

  • Berdasarkan perubahan patologik pada otak :
    • PSA (Perubahan Sub arachnoid)
    • PIS (Pendarahan Intraserebral)
    • Nekrosis iskemik serebral
  • Berdasarkan stadium klinik :
    • TIA (Transient Iskhemic Attack)
    • SIE (Stroke in Evolution)
    • CS (Completed Stroke)
    • RIND (Reversibel Iskemik Neurologik Defisit)

II. Pembahasan

Mengapa Stroke dapat terjadi ?

Otak membutuhkan banyak oksigen. Berat otak hanya 2 1/2 % dari berat badan seluruhnya, namun oksigen yang dibutuhkannya hampir mencapai 20% dari kebutuhan badan seluruhnya. Oksigen ini diperoleh dari darah. Di otak sendiri hampir tidak ada cadangan oksigen. Dengan demikian otak sangat bergantung kepada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplai oksigen terputus selama 8-10 detik, maka terjadi gangguan fungsi otak.Bila lebih lama dari 6-8 menit, terjadi jejas (lesi) yang tidak pulih lagi (irreversible) dan kemudian kematian.

Dari percobaan pada binatang diketahui bahwa penghentian aliran darah ke otak selama lebih dari 3 menit menyebabkan kerusakan yang menetap.

Beberapa daerah di otak lebih peka terhadap iskemia (berkurang aliran darah). Daerah dengan aktivitas metabolik yang lebih tinggi membutuhkan makanan yang lebih banyak untuk mempertahankan integritas strukturalnya. Dengan demikian masa kelabu yang mempunyai aktivitas metabolik yang lebih tinggi lebih sensitive terhadap iskemia.

Kelainan yang terjadi akibat gangguan peredaran darah di otak dapat dibagi atas 2 golongan, yaitu :

  1. Infark Iskemik, disebut juga sebagai Stroke Non-Hemoragik
  2. Perdarahan, disebut sebagai Stroke Hemoragik.

Perlu diingat bahwa kedua keadaan ini dapat terjadi bersamaan. Hemoragi dapat meninggikan tekanan di rongga tenggkorak dan menyebabkan iskemia di daerah lain yang tidak terlibat hemoragi. Sebaliknya di daerah iskemia dapat pula terjadi hemoragi.

Iskemia otak merupakan akibat berkurangnya aliran darah di otak, baik secara umum maupun secara lokal.

Kata iskemia berasal dari kata Yunani, “ischein” (menghentikan) dan “haima” (darah).

Stroke iskemik, atau stroke non-hemoragik, pada kelompok usia di atas 45 tahun, paling banyak disebabkan atau ada kaitannya dengan aterosklerosis.

Untuk mengetahui diagnosa stroke non hemoragik atau stroke hemoragik, dapat digunakan Skor Stroke Siriraj (SSS) yaitu :

SSS : (2,5 x derajat kesadaran) + (2x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (10% x tekanan diastolik) – (-3x petanda ateroma) – 12

Penilaian : Skor > 1 : Stroke Hemoragik

Skor < -1 : Stroke non Hemoragik (stroke iskemik)

Selain itu dapat digunakan CT Scan atau MRI.

Stroke Non Hemoragik (Iskemik) mencakup :

  • TIA (Transient Iskemik Attack)
  • SIE (Stroke in Evolution)
  • CS (Completed Stroke)
  • RIND (Reversibel Iskemik Neurologik Defisit)

Manifestasi klinis :

  • Penyumbatan salah satu aliran darah karena vasospasme langsung dapat menimbulkan gejala defisit atau perangsangan sesuai dengan fungsi daerah otak yang terkena.

Setelah vasospasme hilang, gejala-gejala itu akan hilang juga dan keadaan akan sehat seperti pulih kembali (TIA).

Gejala defisit itu bisa berupa monoparesis atau hemiparesis dengan hemiparastesia ataupun afasia.

  • Vasospasme regional bisa terjadi sehubungan dengan melonjaknya tekanan darah sistemik, sebagai suatu reaksi vasokonstriksi yang berlebihan. Pada tekanan intralumenal yang membahayakan memang autoregulasi vaskuler sewajarnya mengadakan vasokonstriksi.Pada orang sehat, vasokonstriksi itu berlangsung sejenak, karena lonjakan tekanan darahnyapun tidak berlangsung lama, tetapi pada orang dengan hipertensi lonjakan hipertensi dapat melewati batas kritis atas dan bisa berlangsung agak lama.

Gangguan mekanisme autoregulasi regional itu terdapat pada tempat-tempat arteri yang mengandung “plaque”

  • Arteri karotis dan arteri vertebralis,keduanya memperdarahi kedua belah belah otak secara sendiri-sendiri, namun bekerja sama secara integral apabila kerja sama itu diperlukan.Apabila salah satu diantara mereka tidak mampu memberikan jatah darah yang biasa dibebankan atas dirinya, maka yang lainnya akan mengambil alih tugas itu. Pengambil alihan tugas itu tidak selamanya berlangsung lancar.Sehingga pada masa tertentu, pertolongan kompensatorik itu masih belum terlaksana .Karena terlambatnya sirkulasi kompensatorik itu, maka daerah tertentu menjadi iskemik.

III. Penatalaksanaan

Prinsip Penatalaksanaan Stroke Iskemik

  1. Membatasi atau memulihkan iskemia akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama) menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinant tissue-plasminogen activator). Pengobatan ini hanya boleh diberikan pada stroke iskemik dengan waktu onset <>Scan normal. Obat ini sangat mahal dan hanya dapat dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap.
  2. Mencegah perburukan neurologis yang behubungan dengan stroke yang masih berkembang (‘jendela terapi’ sampai dengan 72 jam).

Progresivitas stroke terjadi pada 20-40 % pasien stroke iskemik yang dirawat, dengan risiko terbesar dalam 24 jam pertama sejak onset gejala. Perburukan klinis dapat disebabkan oleh salah satu mekanisme berikut ini:

  • Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark :

Masalah ini umumnya terjadi pada infark luas. Edema otak umumnya mencapai puncaknya pada hari ke-3 sampai hari ke-5 setelah onset stroke dan jarang menimbulkan masalah dalam 24 jam pertama. Terapi dengan manitol bermanfaat, hindari cairan hipotonik. Steroid tidak efektif.

  • Ekstensi teritori infark :

Ini dapat disebabkan oleh trombosis yang progresif dalam sebuah pembuluh darah yang tersumbat (misalnya infark batang otak yang progresif pada seorang pasien dengan trombosis arteri basilaris) atau kegagalan difusi distal yang berhubungan dengan stenosis atau oklusi yang lebih proksimal (misalnya : perluasan infark zona perbatasan internal pada seorang pasien dengan oklusi arteri karotis interna). Heparin dapat mencegah trombosis yang progresif dan optimalisasi status volume dan tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.

  • Konversi hemoragis :

Masalah ini diketahui dari hasil radiologis tetapi jarang menimbulkan gejala klinis. Tiga faktor risiko utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut. Jangan memberikan antikoagulan pada pasien dengan risiko tinggi selama 48-72 jam pertama setelah onset stroke. Bila ada hipertensi berat obati pasien dengan obat antihipertensi.

  1. Mencegah stroke berulang dini (dalam 30 hari sejak onset gejala strok).

Sekitar 5 % pasien yang dirawat dengan stroke iskemik mengalami serangan stroke kedua dalam 30 hari pertama. Resiko ini paling tinggi (lebih besar dari 10%) pada pasien dengan stenosis karotis yang berat dan kardioemboli serta paling rendah (1 %) pada pasien dengan infark lakuner. Terapi dini dengan heparin dapat mengurangi risiko stroke berulang dini pada pasien dengan kardioemboli.

Protokol Penatalaksanaan Strok Iskemik Akut

  1. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB intravena (dosis maksimum 90 mg). 10% diberikan bolus intravena dan sisanya diberikan per drips dalam waktu 1 jam jika onset gejala stroke dapat dipastikan kurang dari 3 jam dan hasil CT Scan otak tidak memperlihatkan infark dini yang luas.
  1. Pertimbangkan pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia miokard. Bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
  2. Tekanan darah yang tinggi pada stroke iskemik tidak boleh terlalu cepat diturunkan.Akibat penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik akut dapat memperluas infark dan perburukan neurologis. Aliran darah yang meningkat akibat tekanan perfusi otak yang meningkat bermanfaat bagi daerah otak yang mendapat perfusi marginal (Penumbra iskemik). Tetapi tekanan darah yang terlalu tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri. Oleh sebab itu, pedoman untuk penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut adalah bila terdapat salah satu hal berikut ;
  • Hipertensi diobati jika terdapat kegawatdaruratan hipertensi non neurologis :
  1. Iskemia miokard akut
  2. Edema paru kardiogenik
  3. Hipertensi maligna (retinopati)
  4. Neuropati hipertensif
  5. Diseksi aorta
  • Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali pengukuran selang 15 menit :
  1. Sistolik > 220 mmHg
  2. Distolik > 120 mmHg
  3. Tekanan arteri rata-rata > 140 mmHg
  • Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan diastolik > 110 mmHg.

Dengan obat-obat antihipertensi golongan penyekat alfa beta (labetolol), penghambat ACE (kaptopril atau sejenisnya) atau antagonis kalsium yang bekerja perifer (nifedipin atau sejenisnya) penurunan tekanan darah pada stroke iskemik akut hanya boleh maksimal 20 % dari tekanan darah sebelumnya. Nifedipin sublingual harus diberikan dengan hati-hati dan dengan pemantauan tekanan darah ketat setiap 15 menit atau dengan alat monitor kontinus sebab dapat terjadi penurunan tekanan darah secara drastis. Oleh sebab itu, sebaiknya dimulai dengan dosis 5 mg sublingual dan dapat dinaikkan menjadi 10 mg tergantung respons sebelumnya.

Pada tekanan darah yang sulit diturunkan dengan obat diatas atau bila diastolik > 140 mmHg secara persisten maka harus diberikan natrium nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang diinginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drips 10-20 ug/menit.

Tekanan darah yang rendah pada stroke akut adalah tidak lazim. Bila dijumpai maka tekanan darah harus dinaikkan dengan dopamine atau dobutamin drips serta mengobati penyebab yang mendasarinya.

  1. Pertimbangan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis atau radiologis adanya infark hemisfer atau serebellum yang massif, kesadaran menurun, gangguan pernafasan, atau stroke dalam evaluasi.
  2. Pertimbangkan konsul bedah saraf untuk dekompresi pada pasien dengan infark serebellum yang luas.
  3. Pertimbangkan MRI (Magnetic Resonance Imaging) pada pasien dengan stroke vertebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infark yang tidak nyata pada CT Scan.
  4. Pertimbangkan pemberian heparin intravena dimulai dosis 800 unit/jam, 20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi berikut ini :
  • Kemungkinan besar stroke kardioemboli
  • Iskemia otak sepintas (TIA) atau infark karena stenosis arteri karotis
  • Stroke dalam evolusi
  • Diseksi arteri
  • Trombosis sinus dura

Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada pasien dengan infark luas yang berhubungan dengan efek massa atau konversi/transformasi hemoragik.

Pasien stroke dengan infark miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau trombus intrakardia harus diberi antikoagulan oral (warfarin) minimal 1 tahun dengan mempertahankan masa protrombin 1,5-2,5 kali kontrol atau INR 2-3.

  1. Pemeriksaan penunjang neurovaskular diutamakan dengan noninvasive. Pemeriksaan berikut ini dianjurkan pada pasien infark serebri bila alat tersedia dan biaya terjangkau :
  • Ekokardiografi untuk mendeteksi adanya sumber emboli dari jantung. Pada banyak pasien, ekokardiografi transthorakal sudah memadai. Ekokardiografi transesofageal memberikan hasil yang lebih mendetail terutama kondisi atrium kiri dan arkus aorta serta lebih sensitif untuk mendeteksi trombus mural atau vegetasi katup.
  • Ultrasonografi Doppler karotis diperlukan untuk menyingkirkan stenosis karotis yang simtomatis serta lebih dari 70 % merupakan indikasi untuk enerterektomi karotis.
  1. Pemeriksaan berikut ini dilakukan selektif pada pasien tertentu :
  • Ultrasonografi Doppler transkranial dapat dipakai untuk mendiagnosis oklusi atau stenosis arteri intrakranial besar. Gelombang intrakranial yang abnormal dan pola aliran kolateral dapat juga dipakai untuk menentukan apakah suatu stenosis pada leher menimbulkan gangguan hemodinamik yang bermakna.
  • Angiografi resonansi magnetik dapat dipakai untuk mendiagnosis stenosis atau oklusi arteri ekstrakranial atau intrakranial.
  • Pemantauan Holter dapat dipakai untuk mendeteksi fibrilasi atrium intermitten.

10. Pertimbangkan pemeriksaan darah berikut ini pada kasus-kasus penyebab stroke yang tidak lazim, terutama pada usia muda :

  • Kultur darah jika dicurigai endokarditis..
  • Pemeriksaan prokoagulan : aktivitas protein C, aktivitas protein S, aktivitas antitrombin III, antikoagulan lupus, antibody antikardiolipin.
  • Pemeriksaan untuk vaskulitis : antibody antinuklear (ANA), factor rheumatoid, regain plasma cepat (RPR), serologi virus hepatitis, laju endap darah, elektroforesis protein serum, krioglobulin, dan serologi virus herpes simpleks.
  • Profil koagulasi untuk menyingkirkan koagulasi intravaskular disseminata (DIC).
  • Beta gonadotropin khorionik manusia (b-HCG) untuk menyingkirkan kehamilan pada wanita muda dengan stroke.

IV. Terapi Medik Stroke Iskemik.

Pada stroke iskemik didapatkan gangguan pemasokan darah ke sebagian jaringan otak. Ini disebabkan karena aliran darah berkurang atau berhenti. Bila gangguan cukup berat, akan ada sel saraf yang mati. Disamping sel yang mati didapatkan pula sel otak yang sekarat.

Sel yang sudah mati tidak dapat ditolong lagi. Yang kita lakukan ialah usaha agar sel yang sekarat jangan sampai mati. Setelah terjadi iskemia, di otak terjadi berbagai macam reaksi lanjutan, misalnya pembentukan edema (sembab) di sebagian otak, perubahan susunan neurotransmitter, perubahan vaskularisasi regional, perubahan tingkat metabolisme.

Tujuan terapi ialah agar reaksi lanjutan ini jangan sampai merugikan penderita. Kita berusaha agar sel otak yang belum mati tetap berada dalam keadaan gawat, jangan sampai menjadi mati. Diupayakan agar aliran darah di daerah yang iskemik dapat dipulihkan kembali. Demikian juga metabolismenya.

Banyak macam tindakan serta macam obat yang telah diselidiki, namun banyak yang hasilnya belum meyakinkan, masih kontroversial. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Perlu disadari bahwa untuk meneliti khasiat terapi pada stroke bukanlah hal yang mudah. Antara lain disebabkan karena perjalanan penyakit stroke beragam, penyebab dan faktor resikonya juga bermacam-macam. Demikian juga daerah yang mengalami iskemia serta beratnya iskemia berbeda-beda. Semua hal ini ikut mempengaruhi perjalanan penyakit. Hal ini menyulitkan peneliti untuk memastikan apakah terapi yang diberikan ada manfaatnya.

Sekiranya terjadi perbaikan, sulit memastikan apakah perbaikan tersebut diakibatkan oleh obat atau tindakan yang diberikan. Mungkin saja perbaikan tersebut akan terjadi tanpa terapi yang diberikan. Untuk memastikan hal yang demikian dibutuhkan penelitian terhadap sangat banyak jumlah pasien. Mencapai ratusan jumlahnya, hal yang sulit dilakukan dengan mengingat fasilitas yang tersedia.

Berikut ini beberapa macam obat yang digunakan pada stroke iskemik :

  1. Obat untuk sembab otak (edema otak)

Pada fase akut stroke dapat terjadi edema di otak. Bila edema ini berat akan mengganggu sirkulasi darah di otak dan dapat juga mengakibatkan herniasi (peranjakan) jaringan otak. Herniasi ini dapat mengakibatkan keadaan lebih buruk atau dapat juga menyebabkan kematian.

Obat antiedema otak ialah cairan hiperosmolar (misalnya larutan Manitol 20%; larutan gliserol 10%). Membatasi jumlah cairan yang diberikan juga membantu mencegah bertambahnya edema di otak. Obat dexametasone, suatu kortikosteroid, dapat pula digunakan.

  1. Obat antiagregasi trombosit

Ada obat yang dapat mencegah menggumpalnya trombosit darah dan dengan demikian mencegah terbentuknya thrombus (gumpalan darah) yang dapat menyumbat pembuluh darah. Obat demikian dapat digunakan pada stroke iskemik, misalnya pada TIA. Obat yang banyak digunakan ialah asetosal (Aspirin). Dosis asetosal berkisar dari 40 mg sehari sampai 1,3 gram sehari. Akhir-akhir ini juga digunakan obat tiklopidin untuk maksud yang sama, dengan dosis 2 x 250 mg atau Klopidogrel dengan dosis 1 x 75 mg sehari. Pada TIA, untuk mencegah kambuhnya, atau untuk mencegah terjadinya stroke yang lebih berat, lama pengobatan dengan antiagregasi berlangsung 1 – 2 tahun atau lebih.

Tentu kita harus juga menanggulangi faktor-faktor resiko yang ada dengan baik.

  1. Antikoagulansia

Antikoagulansia mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisasi thrombus. Antikoagulansia masih sering digunakan pada penderita stroke dengan kelainan jantung yang dapat menimbulkan embolus. Obat yang digunakan ialah heparin, kumarin, sintrom.

  1. Obat Trombolitik (obat yang dapat menghancurkan thrombus)

Terapi trombolitik pada stroke iskemik didasari anggapan bahwa bila sumbatan oleh thrombus dapat segera dihilangkan atau dikurangi (rekanalisasi), maka sel-sel neuron yang sekarat dapat ditolong.

Penelitian yang cukup besar, yang membuktikan efektivitas penggunaan rt-PA pada stroke iskemik, ialah penelitian HINDS, yang melibatkan 624 penderita dan pengobatan dimulai dalam kurun waktu 3 jam setelah mulainya stroke. Terjadinya perdarahan sebagai akibat pengobatan ini cukup tinggi (6,4 % dibanding 0,6% pada kelompok tanpa trombolitik (plasebo). Namun demikian, pasien yang dapat pergi pulang ke rumah lebih banyak pada kelompok yang mendapat rt-PA, yaitu 48% dibanding 36% pada plasebo. Terapi trombolitik pada stroke iskemik merupakan terapi yang poten, dan cukup berbahaya bila tidak dilakukan dengan seksama.

  1. Obat atau tindakan lain

Berbagai obat dan tindakan telah diteliti dan dilaporkan di kepustakaan dengan tujuan memperbaiki atau mengoptimalisasi keadaan otak, metabolisme dan sirkulasinya. Hasilnya masih kontroversial dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Obat-obat ini misalnya : kodergokrin mesilat (Hydergin), nimodipin (Nimotop), pentoksifilin (Trental), sitikolin (Nicholin).

Tindakan yang perlu penelitian lebih lanjut ialah : hemodilusi (mengencerkan darah). Hal ini dilakukan bila darah kental pada fase akut stroke. Bila darah kental, misalnya hematokrit lebih dari 44 – 50 %, maka darah dikeluarkan sebanyak 250 cc, diganti dengan larutan dekstran 40 atau larutan lainnya. Bila masih kental juga, dapat dikeluarkan lagi 250 cc keesokan harinya.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Maharmarjuna, DR. Prof ; Neurologi Klinik Dasar.
  2. Kapita Selekta Kedokteran Bagian llmu Penyakit Syaraf : Media Aesculapius; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2000.
  3. Prof. DR.dr. S.M. Lumbantobing : Stroke Bencana Peredaran Darah di Otak : Fakultas Keodkteran Universitas Indonesia.

PARESE NERVUS VAGUS

PENDAHULUAN
Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan.

Saraf otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa melalui batang otak, saraf otak kedua sampai keduabelas semuanya berasal dari batang otak. Saraf otak kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh berinduk di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata. (1)

ANATOMI
Nervus vagus mengandung serabut somatosensorik: viserosensorik, somatomotorik dan viseromotorik. Nukleus ambiguus merupakan inti motorik nervus vagus dan glosofaringeus. Serabut-serabut nukleus dorsalis vagi menyusun lintasan preganglioner parasimpatikus yang menghantarkan im­puls untuk menggalakkan kelenjar dan otot polos visera serta pembuluh darah intratorakalis dan intraabdominalis. Serabut aferen yang menyusun nervus vagus berinti di ganglion jugulare dan nodosum. Kedua-duanya tertetak di foramen jugulare. Ganglion jugulare menerima impuls protopatik dari kulit liang telinga. Ganglion nodosum menerima impuls aferen dari farings larings, osofagus dan organdalam-organdalam di dalam toraks dan abdomen. Juluran sentral kedua ganglion tersebut menuju ke nukleus ramus desendens nervus trigeminus dan dari situ impuls dihantarkan oleh jaras trigeminotalamikus ke VPM dan VPL. Proyeksi kortikalnya ialah kepada daerah operculum. Serabut-serabut yang menghantarkan impuls pengecapan dari epiglotis ikut menyusun nervus vagus. Serabut-serabut tersebut menyampaikan impuls pengecapan kepada nukleus traktus solitarius.

Nervus vagus meninggalkan medula oblongata bersama-sama dengan nervus glosofaringeus dan asesorius dari permukaan lateral, langsung di bawah korpus restiforme. Mereka bertiga keluar dari ruang tengkorak melalui foramen jugulare. Ia turun ke leher di belakang arteria dan vena jugularis interna. Selanjutnya ia tetap berada di belakang vena jugularis eksterna. Di dalam ruang toraks nervus vagus kiri dan kanan mempunyai anatomi yang berbeda. Nervus vagus kanan mengikuti vena kava dari belakang sampai ke bronkhus kanan. Sebagian bercabang-cabang untuk menyarafi permukaan posterior paru dan sebagian lainnya berjalan di belakang usofagus untuk beranastomosis dengan cabang-cabang nervus vagus kiri yang berada di depan usofagus. Di situ kedua nervus vagus menyusun pleksus usofagus posterior. Nervus vagus kiri berjalan diantara arteria karotis komunis dan arteria subklavia. Di depannya terdapat nervus frenikus. Ia melewati tepi lateral arkus aorta dan setinggi bronkhus kiri ia bercabang-cabang untuk menyarafi permukaan posterior paru dan sebagian lainnya berjalan di depan usofagus. Di situ serabut-serabutnya beranstomosis dengan serabut vagus kanan dan dengan demikian mereka menyusun pleksus usofagus anterior.

Setinggi arkus aorta, nervus vagus kiri memberikan cabang yang berbalik ke atas melalui kolong arkus aorta. Cabang ini dinamakan nervus rekurens. Cabang nerves vagus kanan yang bernama nervus rekurens dekstra berbalik ke atas melalui permukaan bawah arteria subklavia. Kedua nervi rekurens menyarafi semua otot larings, kecuali otor krikotiroideus, dan sfingter farings serta krikofaringeus.

Bersama dengan usofagus-nervus vagus kanan di belakangnya dan nervus vagus kiri di depannya-mereka menembus diafragma melalui hiatus usofagus dan tiba di ruang abdomen. Dalam perjalanan sepanjang toraks dan abdomen, nervus vagus kanan dan kiri membentuk pleksus-pleksus. Di dalam toraks terbentuk pleksus usofagus, pleksus pulmonalis anterior dan posterior. Di dalam abdomen nervus vagus kiri memberikan rami gastrisi anterior. Yang kanan menjulurkan rami gastrisi posterior. Untuk hepar kedua nervi vagi mengeluarkan cabang-cabang hepatis, untuk lien cabang-cabang lienalis dan untuk ginjal rami renales. Sebagian besar dari nervus vagus abdominalis menuju ke ganglion soliaka, yang merupakan pemancar impuls viseromotorik vagus untuk usus kecil dan besar. (1)

DEFINISI
Parese nervus vagus atau paralysis parsial nervus vagus adalah gangguan fungsi motorik dan sensorik akibat adanya lesi jaringan saraf pada nervus vagus. (2)

ETIOLOGI
Parese nervus vagus dapat disebabkan oleh hal sebagai berikut:

1. Lesi di batang otak: (1) sindrom retro-olivar, (2) sindrom lateralis (wallenberg) yang disebabkan oleh trombosis arteria serebellaris posterior inferior.
2. Tumor basis kranii.
3. Neurolemoma.
4. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.
5. Fraktur basis kranii (atau traksi pada nervus vagus pada trauma kapitis).
6. Infeksi retrofaringeal dan abses peritonsiler.
7. Parese nervus rekurrens dapat ditimbulkan oleh: (1) aneurisma aorta, (2) tumor glandula tiroidea, (3) Tumor mediastinum, (4) Tumor timus, dan (5) tumor kelenjar hilus paru-paru. (1,3,4)

MANIFESTASI KLINIS
Semua lesi radikuler yang mengganggu nervus vagus selalu melibatkan juga nervus glosofaringeus, misalnya pada (1) sindroma Wallenberg (sindroma medulla lateralis), (2) siringobulbi dan (3) sindroma Vernet, pada keadaan diatas, kedua sarafotak tersebut terganggu secara tergabung. (1)

Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh karena parese nervus vagus antara lain:

1. Tidur mendengkur dan suara sedikit sengau, gejala-gejala ini mencerminkan kelumpuhan palatum mole sesisi. Gangguan menelan baru menjadi kenyataan bila palatum lumpuh bilateral, seperti pada miastenia gravis, difteria dan paralysis pseudobulbaris. Gejalanya adalah regurgitasi melalui hidung.
2. Paralysis farings timbul karena lesi nervus vagus sebelum meninggalkan foramen jugulare. Karena lesi vagus tersebut, maka palatum mole, sfingter larings dan otot krikofaringeus ikut menjadi lumpuh. Kelumpuhan farings unilateral menimbulkan kesulitan dalam menelan makanan.
3. Bila kedua nervus rekurrens kanan dan kiri mengalami kelumpuhan, maka pita suara akan berada di garis tengah dan pula tidak bergerak sama sekali, dan akan terdengarlah: (1) suara yang afonis, (2) stridor inspiratorik
4. Paralysis larings, ganguan terhadap refleks batuk dan napas. (1,3)

Nervus vagus mungkin mengalami lesi sendiri-sendiri terlepas daripada yang lainnya, tetapi dapat pula mengalami gangguan bersama, misalnya parese nervus hipoglosus, parese nervus asesorius, parese nervus vagus, dan parese nervus glosofaringeus. (3,4,5)

Dalam hal yang terakhir ini akan timbul bermacam-macam sindrom, yaitu:

1. Sindrom bulbar

Pada sindrom bulbar akan tampak paralisis nervus hipoglosus, nervus asesorius, nervus vagus, dan nervus glosofaringeus.

Hal ini dapat ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, (2) meningitis tuberculosa atau luetika, (3) fraktur basis kranii (atau traksi saraf-saraf tersebut pada trauma kapitis).

1. Sindrom foramen jugulare

Pada sindrom foramen jugularis tampak paralysis dari nervus glosofaringeus, nervus vagus dan nervus asesorius (nervus hipoglosus dalam keadaan baik)

Sindrom ini dapat ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, (2) fraktur basis kranii (atau traksi saraf-saraf tersebut pada trauma kapitis), (3) meningitis tuberculosa atau luetika, (4) periflebitis/trombosis dari vena jugularis.

1. Sindrom spasium parafaringeum

Pada sindrom ini tampak kelumpuhan dari nervus glosofaringeus, nervus vagus dan nervus hipoglosus. Di samping itu akan tampak sindrom Horner’s di sisi yang sakit.

Sindrom spasmium parafaringeal dapat timbul pada: (1) abses retrofaringeal, (2) abses peritonsiler. (4,5)

DIAGNOSIS
Diagnosis parese nervus vagus ditegakkan dengan anamnesis serta gejala kinis yang ada, anamnesis mengenai ada tidaknya riwayat trauma kapitis (sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa trauma kapitis dapat menyebabkan traksi pada nervus vagus sehingga terjadi parese pada nervus vagus) atau fraktur basis kranii.

Ananmesis yang lain yang tentunya akan mengarahkan kita kepada riwayat-riwayat penyakit ataupun tumor yang secara lansung ataupun tidak langsung akan menyebabkan parese nervus vagus.

Pemeriksaan fisik nervus vagus dapat dilakukan yaitu dengan cara: pasien disuruh berkata “aaah” yang pada orang normal akan menyebabkan uvulae terangkat lurus-lurus dan tetap berada di daerah mediana, sedangkan jika terdapat lesi unilateral akan terjadi deviasi ke sisi sehat dan arcus faringeus lebih rendah dari sisi sehat dan palatum mole paresis. (7)

DAFTAR RUJUKAN

1. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 114 – 82.
2. Dorland: Kamus Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi 26, cetakan II, Jakarta 1996
3. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 103 – 130.
4. Http://www.yahoo.net/seach/cache?/neuro24.de/hirnnerven_vagus.htm
5. Http://www.yahoo.net/search/cache?/angelfire.com/nc/neurosurgery/Topik.html.
6. Judana A, Santoso D, Kusumoputro S. Saraf – saraf Otak. Dalam: Pedoman Praktis Pemeriksaan Neurologi. Penerbit Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1978: 10 – 21.

VISUM ET REPERTUM

Pendahuluan

VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.

Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali.

Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan catatan "atas nama".

Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).


Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi).

Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.

Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.

Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum, bukan sumpah.

Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.

Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila diperlukan kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi?).

Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan berakibat aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.

Definisi

Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum et repertum, yaitu pada staatsblad (lembaga Negara) Tahun 1937 No. 350. Ketentuan dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat visum. Seperti diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan maksudnya berbeda.

Visum et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.

Peranan dan Fungsi

Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan.

Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.

Perbedaan VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain

Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dokter boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa perjanjuan yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada klaim asuransi.

Karena Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan 133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintnya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses pengadilan.

Jenis dan Bentuk Visum et Repertum

Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana.

Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.


1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan.

Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik.

Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et repertum.

2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila

Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul).

Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.

Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.

Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.

3. Visum et Repertum Jenazah

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).

Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :

1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.
2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.

Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.

4. Visum et Repertum Psikiatrik

Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini.

Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.

Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
Aspek Pengadaan Visum Et Repertum

Pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain itu jaksa penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum.

Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.

Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta visum et repertum langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang korban pada saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan. Dalam hal visum et repertum tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban hidup, maka dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada korban. Sikap ini masih dapat dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan hak pasien atas informasi medis dirinya.

Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati yang telah mempunyai ketentuan yang mengaturnya dan bahkan mempunyai ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual / abortus) tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP.

Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran.

KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban sebagai "barang bukti". Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup tidak menunjukkan bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak disegel, apalagi disita oleh negara. Situasi tersebut membawa kita kepada keadaan, dimana dokter turut bertanggung-jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa.

Dalam praktek sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang "terlambat" dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat). Syarat pembuatan visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam pasal 187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik. Tidak ada alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut.

Perlu diingat bahwa selain sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu seorang manusia yang merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini berarti bahwa seseorang korban hidup tidak secara "en block" (seutuhnya) merupakan barang bukti. Yang merupakan "barang bukti" pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaannya beserta akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah "menyalin" barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.

Adanya keharusan membuat visum et repertum atas seseorang korban tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini sebagai pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Keadaan ini berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya sebagai pasien dengan segala haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak untuk memperoleh informasi medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri (rights to self determination), hak untuk menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak memperoleh pendapat kedua (second opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan ihwalnya.

Umumnya korban tidak akan menolak pemeriksaan dokter bila telah dijelaskan manfaatnya bagi korban sendiri sehubungan dengan perkara pidananya. Terlebih bila diingat bahwa biasanya pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya. Apabila suatu pemeriksaan dianggap perlu oleh dokter pemeriksa tetapi pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.

Ketentuan hukum mengenai siapa yang paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual tidaklah jelas. Selama ini para dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, yang memang terbiasa memeriksa pasien wanita, dianggap paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual.

Namun apabila diingat bahwa korban kejahatan seksual pada dasarnya adalah korban "perlukaan", dan bahwa pemeriksaan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar pemeriksaan fisik dan tujuannya adalah untuk pembuktian, maka dokter spesialis forensik tampaknya akan mempunyai peranan yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh segi keilmuan yang digunakan dalam memeriksa korban kejahatan seksual, yaitu ilmu-ilmu forensik dan bukan ilmu obstetri maupun ginekologi. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa pemeriksa adalah dokter yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, baik di bidang ginekologi maupun di bidang kedokteran forensik.

Tindakan yang akan dilakukan harus didahului dengan penjelasan dan permintaan persetujuan korban, atau bila korban tidak cakap memberi persetujuan dimintakan dari orang tuanya atau keluarga terdekatnya. Apabila korban belum cukup umur, maka disarankan agar persetujuan tersebut ditandatangani oleh bersama, baik oleh korban maupun oleh orangtuanya. Selain adanya surat permintaan visum et repertum dan persetujuan korban, pemeriksaan harus disaksikan oleh chaperone (saksi yang berjenis kelamin sama dengan korban) guna menghindari keadaan yang tidak diinginkan.(2)

Struktur Dan Isi Visum Et Repertum
Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran kehakiman, edisi kedua, 1992).

Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :
1. Pro Yustitia.

Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian atas visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai.

Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya.

2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat pemeriksa (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.

3. Pemeriksaan.

Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa.

4. Kesimpulan.

Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.

Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini).

Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

5. Penutup.

Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHP.(IJO)

Tatacara permintaan Visum Et Repertum

Seperti tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya sabagai berikut :

a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang.

b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi :

Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi

1. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi.
2. Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena
3. Jabatannya adalah Penyidik

Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik

c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan :

1) Korban Mati.

Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap jabatan , diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.

Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan

Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya.

2) Korban Hidup.

Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang keadaan korban.

Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia.

Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.

Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.

d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa.

Contoh :

1) Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak.

Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan.

2) Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena pembunuhan atau penganiayaan saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api, racun.

Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban.

3) Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab

4) Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan

e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya.

Catatan :

Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat Fakultas Kedokteran nya

Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter.

Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya :

1) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek partikelir)

2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu :

Untuk korban hidup :

a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah

b) Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan

Untuk korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman

3) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat permintaannya

4) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta

f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan cara kematian korban.

g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang korban seperti :

1) Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.

2) Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan.

3)Apakah korban dipindah

4) Senjata/alat jenis apa yang melukai korban

5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang ada pada tubuh korban

6) Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban

7) Apakah ada tanda-tanda perlawanan

8) Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian

9) Kapan kira-kira korban meninggal

10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal(3)


Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum

a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain.

b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan bedah jenazah tersebut.

Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat Forensik :

1) Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat Nomor 4 / 1955.

2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan sengaja mencegah menghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

3) Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih dahulu membahasnya secara mendalam.

4) Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang berkaian erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani.


Pasal KUHP Yang Berkaitan Dengan Visum Et Repertum

Pasal 90 KUHP

Luka berat berarti :

1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya mati.

2) Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.

3) Kehilangan salah satu panca indera.

4) Mendapat cacat berat.

5) Menderita sakit lumpuh.

6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.

7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pasal 351 KUHP

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan dimaksud sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352 KUHP

Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan atau terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353 KUHP

(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang berarti dekenakan pidana penjara pailing lama tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 354 KUHP

(1) Barang siapa melakukan penganiayaan kepada orang dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 341 KUHP

Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada anak yang dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja mematikan anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 342 KUHP

Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena akan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena memperkosa, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan hal itu diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 287 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Pasal 288 KUHP

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan penjara paling lama delapan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas ahun.

Pasal 289 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 44 KUHP

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Pasal 222 KHUP

Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


Yang berhak meminta visum et repertum

Yang berhak meminta visum et repertum adalah penyidik,hakim pidana,hakim perdata dan hakim agama.

Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi negara tertentu dengan pangkat serendah-rendahnya pelda,sedangkan pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah serda.Di daerah terpencil mungkin saja seorang dengan pangkat serda diberi wewenang sebagai penyidik karena ia komandan.

Hakim pidana

Hakim pidana biasanya tidak langsung minta visum et repertum pada dokter,tetapi memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan dengan visum et repertum.Kemudian jaksa melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik.

Hakim perdata

Dasar hukumnya:HIR pasal 154

Karena di sidang pengadilan perdata tidak ada jaksa,maka hakim perdata minta langsung visum et repertum kepada dokter.Sebagai contoh adalah sidang pengadilan mengenai penggantian kelamin Iwan robyanto iskandar menjadi Vivian rubiyanti iskandar.

Hakim Agama

Dasar hukumnya:Undang-undang No.14.tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 10.

Hakim agama mengadili perkara yang bersangkutan dengan agama islam,sehingga permintaan visum et repertum hanya berkenaan dengan hal syarat untuk berpoligami,syarat untuk melakukan perceraian dan syarat waktu tunggu (idah) seorang janda.(2)

PRIAPISMUS

Pendahuluan (1,2)
Priapismus adalah suatu gangguan berupa ereksi penis yang terjadi terus-menerus dalam waktu lebih dari 6 jam. Ereksi yang berkepanjangan ini terjadi tanpa adanya rangsangan seksual. Keadaan ini jelas merupakan gangguan, bukan sesuatu yang layak dibanggakan.
Beberapa tahun terakhir ini, kejadian priapismus di Indonesia cukup sering dan penyebabnya sama, yaitu pada umumnya setelah menerima suntikan pada penis. Fenomena ini cukup menarik perhatian karena sebelumnya sangat jarang terjadi, bahkan tidak pernah diberitakan. Fenomena ini menjadi semakin menarik kalangan kedokteran karena dikaitkan dengan suntikan pada penis dalam upaya untuk mengatasi disfungsi ereksi atau impotensi.
Tujuan penanganan pasien priapismus adalah untuk terjadinya detumesensi dan mempertahankan fungsi ereksi.

Definisi (1,2,4,5)
Priapismus adalah suatu keadaan yang jarang terjadi dimana penis terus menerus ereksi dan sangat sakit.
Priapismus merupakan keadaan dimana terjadi ereksi penis yang nyeri dan menyakitkan tanpa disertai dorongan atau hasrat seksual.
Priapismus adalah keadaan medis yang sangat nyeri dan berbahaya dimana penis yang ereksi tidak kembali ke fase flaksid, meskipun tidak ada rangsangan fisik dan psikologis, dalam waktu 4 jam. Priapismus dipertimbangkan sebagai kegawatdaruratan medis yang harus segera ditangani.

Frekuensi (6)
Amerika Serikat
Frekuensi priapismus tergantung pada populasi. Kombinasi obat-obat intrakavernosa dan obat lainnya adalah 21-80% penyebab priapismus pada orang dewasa. Obat-obat yang digunakan untuk mengobati disfungsi ereksi adalah penyebab paling sering di Negara-negara barat. Angka keseluruhan terjadinya priapismus pada kelompok yang menggunakan obat-obatan berkisar antara 0.05-6%. Kelompok ini cenderung lebih mengetahui tentang resiko priapismus, dan lebih cepat berobat.
Di tempat lain, penyakit sel sabit mendominasi penyebab priapismus pada orang dewasa. Angka priapismus pada penyakit ini sebesar 89%. Sekitar 2/3 dari seluruh pasien pediatric yang mengalami priapismus juga mengalami penyakit sel sabit. Angka priapismus pada anak penderita sel sabit adalah sebesar 27%.
Mortalitas/Morbiditas

* Priapismus onsetnya sangat nyeri. Fibrosis corpora akibat priapismus yang persisten dapat menghasilkan infeksi jaringan dalam penis. * Morbiditas kronis utama yang berhubungan dengan semua tipe priapismus adalah disfungsi ereksi dan impotensi.
* Lama gejala adalah faktor yang paling penting dalam menentukan hasil akhirnya. Suatu penelitian Skandinavia terbaru melaporkan bahwa 92% pasien dengan priapismus yang kurang dari 24 jam tetap poten, dan hanya 22% pasien priapismus lebih dari 7 hari yang tetap poten.
Ras
* Priapismus sering pada orang Afrika Amerika dengan penyakit sel sabit.

Usia
* Priapismus dapat terjadi pada pria umur berapa saja, dengan puncaknya pada usia 5-10 tahun dan 20-50 tahun. * Pada pasien penyakit sel sabit, priapismus lebih sering pada pria usia 19-21 tahun.

Jenis Pripismus (2,3,6,)
Sebenarnya priapismus ada dua jenis, Pertama, priapismus karena tersumbatnya jalan keluar aliran darah dari penis (low flow priapism). Akibatnya, aliran darah yang masuk ke dalam penis terus tertumpuk dan tidak dapat keluar. Kedua, priapismus karena kebocoran pembuluh darah nadi di dalam penis (high flow priapism). Akibatnya, darah terus mengalir di dalam penis walaupun masih mengalami aliran keluar.
Kedua jenis priapismus tersebut mempunyai perbedaan. Priapismus karena tersumbatnya aliran darah keluar sangat kaku dan menimbulkan rasa sakit serta iskemik. Sedang priapismus karena kebocoran pembuluh darah nadi tidak terlalu kaku dan tidak menimbulkan rasa sakit.
Fisiologi Ereksi (9)Penis mendapatkan aliran darah dari arteri pudenda yang kemudian menjadi arteri penis komunis. Selanjutnya arteri ini bercabang menjadi arteri kavernosa atau arteri sentralis, arteri dorsalis penis, dan arteri bulbo-uretralis. Arteri penis komunis ini melewati kanal dari alcock yang berdekatan dengan os pubis dan mudah mengalami cedera jika terjadi fraktur pelvis. Arteri sentralis memasuki rongga kavernosa kemudian bercabang menjadi arteriole helisin yang mengisi darah ke dalam sinusoid. Sedangkan darah vena dari sinusoid dialirkan melalui anyaman/pleksus yang terletak dibawah tunika albuginea. Anyaman ini bergabung membentuk venule emisaria dan menembus tunika albuginea ke vena dorsalis penis.
Proses fisiologis ereksi dimulai rangsangan seksual yang menimbulkan peningkatan aktivis saraf parasimpatis yang mengakibatkan terjadinya dilatasi arteriole dan kontriksi venule sehingga inflow meningkat dan outflow menurun hal ini menyebabkan peningkatan volume darah dan ketegangan pada corpora sehingga penis ereksi. Persaraf penis terdiri atas sistem saraf otonomik dan somatic yang berpusat di nucleus intermediolateralis medulla spinalis pada segmen S2-4 dan Th12 - L2. Saraf ini memacu neurotransmiter untuk memulai proses ereksi serta mengakhirinya pada proses detumesensi.




Patofisiologi Priapismus (2,3,4,6)
Priapismus terjadi saat keseimbangan fisiologis dari aliran darah menuju dan keluar dari corpora cavernosa terhalang (interrupted). Ini menyebabkan ereksi badan cavernosa tanpa disertai ereksi corpus spongiosum atau glans.
Priapismus biasanya disebabkan karena obat-obatan, trauma atau karena suatu penyakit; bukan disebabkan karena gairah seksual. Pada ereksi penis yang normal; darah akan mengisi dan memenuhi tabung ereksi sehingga penis menjadi ereksi. Tidak seperti penis normal dimana ereksi akan mereda setelah aktivitas seksual selesai.
Sedangkan pada keadaan priapismus, ereksi terjadi terus menerus karena darah yang berada dalam tabung ereksi tidak dapat mengalir keluar. Batang penis menegang dengan keras sedangkan ujung penis lembek. Jika keadaan ini tidak segera teratasi maka priapismus dapat menyebabkan kerusakkan jaringan penis dan selanjutnya mengganggu ereksi penis yang normal.

Penyebab (1,2,3,4,6,7)
1. Medikasi (misalnya: trazodone, phenothiazine).
2. Cedera medulla spinalis (spinal cord injury).
3. Gangguan sistem perdarahan atau hematologic disorders, misalnya: sickle cell disease, leukemia.
4. Penyebab iatrogenic, misalnya: injeksi papaverine untuk impotensi.
5. Berbagai penyebab lainnya yang belum diketahui (idiopathic causes).
Priapismus dapat disebabkan karena leukemia, penyakit darah sel sabit atau trauma pada tulang belakang. Juga dapat terjadi (tetapi jarang) karena efek samping dari obat trazodone yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi depresi. Pemakaian obat suntik untuk mengatasi impotensi yang tidak sesuai dengan dosis anjuran sering menyebabkan priapismus. Obat ini disuntikkan langsung pada penis, dan paling tidak ¼ dari seluruh pria yang menggunakan obat suntik ini dalam waktu lebih dari 3 bulan mengalami priapismus.
Seperti diketahui, sejak beberapa tahun terakhir ini suntikan langsung pada penis menjadi populer sebagai upaya untuk mengatasi disfungsi ereksi, seiring dengan munculnya klinik yang menyebut diri sebagai klinik impotensi.
Memang benar suntikan langsung pada penis dengan menggunakan bahan yang mengaktifkan pembuluh darah merupakan salah satu cara untuk menimbulkan ereksi pada pria yang mengalami disfungsi ereksi. Tetapi tidak semua bahan itu aman digunakan. Salah satu bahan yang sering menimbulkan priapismus ialah papaverin. Bahan ini bila disuntikkan langsung ke dalam ruang pembuluh darah penis memang dapat menimbulkan ereksi segera.
Tetapi berbagai efek samping dapat terjadi, yaitu priapismus, perdarahan di bawah kulit, terbentuknya jaringan ikat di dalam ruang pembuluh darah penis, dan kematian jaringan penis. Keadaan ini pada akhirnya justru dapat mengakibatkan disfungsi ereksi menjadi semakin buruk. Tetapi mungkin karena harga papaverin murah, maka masih ada klinik yang menggunakannya untuk mengatasi disfungsi ereksi.
Padahal seharusnya bahan ini sudah tidak digunakan lagi. Atau kalau mau digunakan, hanyalah sebagai suatu campuran dengan bahan lain yang lebih aman. Dengan campuran tersebut, efek sampingnya dapat ditekan dan tidak menimbulkan akibat buruk.
Beberapa bahan lain yang digunakan sebagai suntikan pada penis tampaknya lebih aman dan tidak menimbulkan efek samping seperti pada papaverin. Sebagai contoh, alprostadil. Hanya saja harganya lebih mahal.
Di samping akibat suntikan papaverin pada penis, ada obat dan penyebab lain yang juga dapat mengakibatkan priapismus. Beberapa obat lain ialah bahan psikotropika, bahan antipembekuan darah, dan hormon.
Beberapa penyakit darah juga dapat mengakibatkan priapismus, seperti leukemia dan thalassemia. Gangguan saraf, seperti penyakit pada pembuluh darah otak, juga dapat mengakibatkan priapismus.

Manifestasi Klinis (2,4,6)
Pasien datang dengan riwayat ereksi yang nyeri dan berlangsung selama beberapa jam. Corpus cavernosum mengeras dan nyeri saat dipalpasi. Glans dan corpus spongiosum lunak dan tak terlibat.

Diagnosis (3,4)
1. Riwayat pasien.
Riwayat yang lengkap diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab yang mungkin.
2. Pemeriksaan laboratorium
Diperlukan preparat sel sabit (sickle cell) dan hitung darah lengkap (complete blood count/CBC).

Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik secara seksama. Pemeriksaan lanjutan untuk memastikan kelainan ini ialah dengan scan nuklir atau menggunakan dopler ultrasound.

Terapi (2,3,6,8)

Ada 3 cara untuk mengatasi keadaan ini. Cara yang paling efektif adalah dengan menyuntikkan obat ke dalam penis sehingga aliran darah terbuka kembali. Kompres es batu digunakan untuk meredakan keadaan ini tetapi cara ini tidak ada gunanya jika priapismus telah terjadi lebih dari 8 jam. Pada kasus-kasus yang berat yang tidak memberikan respons terhadap kedua cara di atas, maka gunakan jarum suntik untuk menyingkirkan darah yang terjebak di dalam tabung ereksi. Jaringan penis dibilas dengan cairan infus dan darah yang terjebak disedot keluar. Jika dengan cara ini gagal maka dilakukan tindakan operasi. Salah satunya adalah dengan menghentikan suplai darah ke penis sehingga penis dapat rileks kembali. Jika masalah ini dikarenakan penyakit anemia sel sabit, terapi krisis ini cukup diatasi dengan oksigen dan transfusi darah.

a. Konservatif :
– Hidrasi yang baik
– Sedativ
– Enema es saline
– Kompres srotum/penis
– Massage prostat
b. Aspirasi dan irigasi intrakavernosa :
· Aspirasi 10 – 20 cc darah intrakavernosa dgn scalp vein no.21G.
· Instilasi 10 -20 mg epinefrin yang dilarutkan dalam 1 cc larutan garam fisiologis setiap 5 menit hingga detumesensi. (jika priapismus <>
c. Jalan pintas (shunting) dari kavernosa : untuk jenis iskemik atau gagal medikamentosa/ aspirasi
  • Pintas korporo-glanular/winter
  • Pintas korporo-spongiosum
  • Pintas saveno-kavernosum
Komplikasi (26,7)
Priapismus iskemik dapat menyebabkan komplikasi yang serius. Darah yang terperangkap dalam penis menjadi beracun terhadap jaringan. Jika ereksi berlangsung lebih dari 4 jam, darah yang kekurangan oksigen akan mulai merusak jaringan penis. Sebagai akibatnya, priapismus yang tidak ditangani dapat mengakibatkan :
  • Disfungsi ereksi, ketidakmampuan penis menjadi atau bertahan untuk ereksi dengan rangsangan seksual.
  • Impotensi.
Prognosis (3)
Jika priapismus dapat diatasi dalam waktu 12 hingga 24 jam biasanya tidak ada kerusakkan jaringan yang serius. Jika lebih dari 24 jam, terjadi impotensi yang menetap karena tekanan yang tinggi pada penis sehingga menyebabkan kerusakkan jaringan.

Pencegahan (3)
Obat-obat antineoplasma (hidroksiurea) dapat mencegah priapismus berulang pada penderita-penderita anemia sel sabit.